- Lagi, BP2TSTH Kuok Raih Penghargaan Tata Kelola Keuangan Terbaik
- Langkah BP2TSTH Lawan Pandemi: Sosialisasi Vaksinasi dan Pemeriksaan Dini
- Raih Predikat WBK, BP2TSTH Kuok Menjadi Rujukan BPKH XIX Pekanbaru
- Litbang Kuok Berkontribusi Dalam Pencanangan Kampung Taxus di Sumbar
- Jendela Hutan Arboretum Kuok
- Mewujudkan Agroforestry Geronggang di Lahan Gambut Terdegradasi Riau
- BP2TSTH SELENGGARAKAN PEMBAHASAN ROPt Tahun 2021
- Pemanfaatan Limbah Lignoselulosa sebagai Sumber Energi Terbarukan
- Peningkatan Kualitas Kayu Hasil Pemuliaan
- BP2TSTH Berbagi Pengalaman Sebagai Instansi Berpredikat Zona Integritas ke Satker Ditjen KSDAE
Mewujudkan Agroforestry Geronggang di Lahan Gambut Terdegradasi Riau
Berita Populer
- PENELITI BP2TSTH LAKUKAN PENELITIAN UJI KETAHANAN GERONGGANG TERHADAP GENANGAN
- berita tambah
- KHDTK Kepau Jaya
- POTENSI BUDIDAYA LEBAH PENGHASIL MADU DI KABUPATEN INDRAGIRI HILIR, RIAU
- sadwfa
Berita Terkait
- BP2TSTH SELENGGARAKAN PEMBAHASAN ROPt Tahun 20210
- Pemanfaatan Limbah Lignoselulosa sebagai Sumber Energi Terbarukan0
- Peningkatan Kualitas Kayu Hasil Pemuliaan 0
- BP2TSTH Berbagi Pengalaman Sebagai Instansi Berpredikat Zona Integritas ke Satker Ditjen KSDAE0
- Kolaborasi Satker BLI di Sumatera pada Prinas 20210
Restorasi Gambut
Kawasan bergambut di Provinsi Riau diperkirakan lebih dari 3 juta ha . Sayangnya, sebagian besar bahkan lebih dari separuhnya telah rusak dan beralih menjadi lahan gambut terdegradasi/kritis. Kondisi ini mengakibatkanproduktivitasnya jauh menurun secara cepat dan ketika akan dipulihkan banyak faktor penghambatnya. Mirisnya, fenomena ini merupakan kondisi umum yang terjadi pada lahan gambut tropis di Indonesia. Miettinen & Liew (2010) melaporkan bahwa untuk kawasan hutan rawa gambut yang masih asli (pristine) pada dua pulau besar di Indonesia ( Kalimantan dan Sumatera) hanya tersisa 4%.
Kerusakan gambut tidak bisa dipisahkan dari praktik pengelolaan berbasis “pengeringan” melalui pembuatan kanal-kanal (kanalisasi). Kanalisasi memang memberi kemudahan dalam upaya budidaya di lahan gambut, tapi pada sisi lain praktik ini telah memicu kerusakan gambut yang berujung bencana ekologis. Akibatnya, kebakaran dan kabut asap seakan lumrah terjadi pada musim kemarau, sebaliknya pada musim hujan terjadi banjir disetiap tahunnya. Kedua bencana ini tentu membawa dampak kerugian pada semua aspek. Kejadian kabut asap 2015 dan 2019 silam, Edwars dkk (2020) dan Bank Dunia (2019) melaporkan kerugian ekonomi yang ditanggung Indonesia mencapai 16 miliar USD dan 5.2 miliar USD masing-masingnya.
Merespon kerusakan gambut dan bencana yang terkait dengannya, Pemerintah Indonesia secara serius terus berupaya untuk mengatasi permasalahan degradasi lahan gambut. Gerakan restorasi lahan gambut terus digalakkan bahkan secara khusus telah dibentuk badan khusus yang mengurusinya. Badan tersebut adalah Badan Restorasi Gambut (BRG) yang kini berubah menjadi badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Dalam praktiknya BRG bersama stakeholder lainnya termasuk KLHK merestorasi gambut yang terdegradasi melalui strategi 3 R (rewetting, revegetasi dan revitalisasi).
Dalam upaya menjalankan strategi tersebut, salah satu praktik yang bisa dipilih adalah pengelolaan lahan gambut terdegradasi berbasis agroforestry. Melalui kegiatan agroforestry juga dapat mendukung suksesnya program perhutanan sosial di KLHK. Dengan demikian, agroforestry dapat dipilih sebagai salah satu bagian dari upaya untuk merehabilitasi lahan gambut yang rusak di Provinsi Riau.
Agroforestry
Agroforestry merupakan pola budidaya dan pemanfaatan lahan yang mengkombinasikan penanaman pohon dengan jenis lainnya terutama pertanian. Pengkombinasian ini dapat juga ditujujan untuk tujuan lainya seperti peternakan, perlebahan dan perikanan dalam satu unit lahan yang sama. Agroforestry telah terbukti secara ilmiah dan pada praktiknya mampu dan handal memberikan dampak positif terhadap ekologi, sosial dan ekonomi.
Penciri utama dari agroforestry adalah adanya jenis pohon yang ditanam. Karenanya, pemilihan jenis pohon merupakan hal terpenting dalam agroforestry. Edmann (2005) menyatakan bahwa salah satu kunci dari agroforestry adalah “deliberatery” atau adanya jenis pohon yang sengaja ditanam oleh petani atau pengelola agroforestry. Secara lebih detail jenis pohon ditanam idealnya adalah jenis yang sukarela dipilih dan ditanam oleh pengelolanya.
Perolehan jenis pohon ini dapat dilakukan dengan pendekatan kearifan lokal; baik secara ekologi, sosial maupun ekonomi. Dengan pendekatan ini, beberapa jenis pohon yang telah ditanam dalam skema agroforestry, antar lokasinya bisa berbeda-beda. Kunci lain dalam pemilihan jenis pohon in adalah hendaknya dari jenis pohon yang bersifat multimanfaat tidak hanya berupa produknya, tapi juga peran ecosystem servicenya seperti sebagai penyerap karbon, pensuplai hara, reservoir air, pencegah erosi, pencegah kebakaran.
Geronggang untuk Agroforestry
Dengan pendekatan kearifan lokal dan melihat adanya multimanfaat yang dihasilkannya, geronggang (Cratoxylum arboresecens) adalah salah satu jenis pohon yang dapat dipilih dan ditanam untuk merehabilitasi lahan gambut terdegradasi di Riau melalui agroforestry. Geronggang merupakan jenis asli (lokal) lahan gambut Riau yang karakteristik, manfaat dan penggunaannya secara turun temurun relatif telah dikenal masyarakat Riau.
Jenis ini mempunyai banyak manfaat dengan dengan potensi pemanfaatan antara lain dari kayunya sebagai bahan bangunan, kayu akustik, kayu berukuran kecil untuk cerocok, seratnya untuk pulp, kulitnya untuk bahan obat-obatan, bunganya untuk sumber nektar (pakan lebah madu) dan buah/benihnya dapat dijual sebagai bahan perbanyakan (bibit). Untuk kategori jenis pepohonan, geronggangpun dikategorikan sebagai jenis pohon yang tidak mudah terbakar dikarenakan nilai kalornya yang xxxxxx[ES1] (Toriyama et al., 2014), sehingga cocok dalam upaya pencegahan kebakaran. Jumlah hara yang dikembalikan melalui serasah tegakan muda geronggang ternyata lebih tinggi dibandingkan jenis mahang, skubung dan krassikarpa (Junaedi, 2020). Geronggangpun mempunyai sistem perakaran yang massif sehingga diduga akan punya peran yang positif dalam menyimpan air dan menjaga kelembaban gambut.
Praktek agroforestry berbasis geronggang di lahan gambut Provinsi Riau bisa ditemukan di Pulau Bengkalis. Namun nampaknya, agroforestry yang dipraktekkan masih terbatas antara geronggang dengan sagu dan masih dalam luasan yang relatif terbatas serta bersifat spot-spot atau belum memasyarakat. Optimalisasi pemanfaatan geronggang dalam sistem agroforestry di lahan gambut terdegradasi di Riau masih harus dilakukan. Dalam rangka optimalisasi ini, penelitian atau kajian yang mengarah pada pencarian model agroforestry berbasis geronggang dan metode sosialisasinya sebaiknya dilakukan secara massive dan intensif. Dengan jalan ini, kemungkinan untuk memperbaiki produktivitas lahan gambut terdegradasi di Riau dengan agroforestry berbasis geronggang akan terwujud.
Informasi teknis silakan hubungi: ajunaedi81@yahoo.co.id
[ES1]Tinggi atau rendah??